Langsung ke konten utama

Kenapa Ya, Menulis itu Lebih Lancar Kalau Kita Lagi Ga Baik-Baik Aja?

Ini sebenarnya salah, seharusnya menulis itu bisa dilakukan dalam kondisi apapun. Bukan di saat kita sedang ga baik-baik aja, bukan di saat diri kita ga punya siapa-siapa buat cerita, bukan di saat kita menganggap seluruh orang di dunia ini menyebalkan, bukan di saat kita nangis di pojokkan kamar karena merasa sendiri dan ngga ada siapa-siapa yang mau mengerti kita, bukan di saat kita marah karena terlalu lelah menghadapi kebijakan pemerintah yang makin ngawur setiap harinya.

Harusnya menulis bisa dilakukan kapan pun entah apapun kondisinya. Tapi kalau gue berpendapat menulis itu akan lebih lancar ketika kita sedang ga baik-baik aja. Alasannya?

Ketika kita sedang ga baik-baik aja dengan kehidupan kita, banyak emosi yang lama sekali kita timbun di dalam hati kecil ini yang kapan saja bisa meledak tanpa kita tahu di waktu kapan ia akan meledak. Lalu kenapa bisa jadi lancar? Karena dengan menulis entah apapun itu jadi satu perantara menyalurkan emosi kita yang sudah lama sekali kita pendam. 

Selain itu menulis saat kondisi kita sedang ga baik-baik aja ternyata juga akan terasa mendalam, bahkan dari yang biasanya kita ga bisa nulis karena kehabisan kata-kata entah dorongan dari mana banyak kata yang akan muncul dengan sendirinya.

Saat sesorang sedang mengalami kesedihan, kegundahan, merasa hilang arah akan dirinya dan tidak tahu "Aku akan berbagi ini semua dengan siapa?" 

Mungkin ada yang menjawab berbagi keluh kesah dengan Tuhan nya masing-masing. Itu tidak salah, bahkan juga malah dianjurkan.

Tapi penyaluran emosi yang baik juga dapat dilakukan dengan menulis. Yaa meskipun belum konsisten, tapi setidaknya kita bisa tahu apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita sedang ga baik-baik aja tanpa merugikan banyak pihak atas emosi yang kita punya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Kalau Kita Hanya Menjadi Sebuah Opsi?

https://pin.it/6C4QQF7J1 Siapa kira bahwa setiap manusia bisa menjadi sebuah opsi di kehidupan manusia lain? Menjadi pilihan dari sejumlah alternatif, atau dalam penggunaan bahasa sedihnya bukan menjadi tujuan utama seseorang. Cukup menyedihkan jika terlalu dalam dipikirkan. Menerima fakta jika kita hanya menjadi opsi saat tujuan utama belum bisa digapai. Menerima fakta jika kita hanya menjadi tempat singgah saat tujuan utama belum bisa menjadi sungguh.  Rasanya menyalahkan orang lain yang tidak mau menjadikan kita tujuan utama juga tidak benar. Mungkin hati kita yang terlalu berharap, supaya kita bisa menjadi tujuan utama dan bahagia bersama selamanya. Tapi ternyata cuma angan semata, ketika kita tahu fakta sebenarnya. Lalu, setelah tertampar fakta yang nyata itu... apa sebaik-baik hal yang harus dilakukan? Jika logika berjalan waras, disuguhi fakta sedemikan rupa dan menyadari bahwa kita hanya menjadi pilihan, akan lebih baik jika kita menyudahi semua. Namun, meninggalkan semuany...

Fatherless: Ketika Kehadiran Bapak Hanya Sekadar Hadir

                               https://pin.it/6RCwbmz Butuh keyakinan dan kekuatan yang kuat buat nulis ini.  Gua tahu istilah fatherless tuh belum lama, dan ternyata wah yang gua rasain selama ini tuh fatherless deh. Belum lama ini kan ada tuh survei yang mengatakan kalau di Indonesia tingkat fatherless tuh banyak banget. Jadi, ya wow gitu ternyata fenomena fatherless ini banyak dialami oleh kebanyakan anak bahkan sampai anak itu udah ga disebut anak-anak lagi alias udah dewasa. Menurut cnn.indonesia fatherless adalah kondisi di mana seorang anak yang tumbuh bersama ibunya tanpa kehadiran ayah baik secara fisik atau psikologis. Nah keadaan seperti anak yatim itu bisa disebut fatherless . Bukan cuma anak yatim, ternyata jika keadaan seorang anak, orang tuanya masih komplit tapi yang mendominasi kehidupan pertumbuhan mereka itu cuma ibu, juga bisa disebut fatherless . Maksudnya gimana sih...