Ini sebenarnya salah, seharusnya menulis itu bisa dilakukan dalam kondisi apapun. Bukan di saat kita sedang ga baik-baik aja, bukan di saat diri kita ga punya siapa-siapa buat cerita, bukan di saat kita menganggap seluruh orang di dunia ini menyebalkan, bukan di saat kita nangis di pojokkan kamar karena merasa sendiri dan ngga ada siapa-siapa yang mau mengerti kita, bukan di saat kita marah karena terlalu lelah menghadapi kebijakan pemerintah yang makin ngawur setiap harinya.
Harusnya menulis bisa dilakukan kapan pun entah apapun kondisinya. Tapi kalau gue berpendapat menulis itu akan lebih lancar ketika kita sedang ga baik-baik aja. Alasannya?
Ketika kita sedang ga baik-baik aja dengan kehidupan kita, banyak emosi yang lama sekali kita timbun di dalam hati kecil ini yang kapan saja bisa meledak tanpa kita tahu di waktu kapan ia akan meledak. Lalu kenapa bisa jadi lancar? Karena dengan menulis entah apapun itu jadi satu perantara menyalurkan emosi kita yang sudah lama sekali kita pendam.
Selain itu menulis saat kondisi kita sedang ga baik-baik aja ternyata juga akan terasa mendalam, bahkan dari yang biasanya kita ga bisa nulis karena kehabisan kata-kata entah dorongan dari mana banyak kata yang akan muncul dengan sendirinya.
Saat sesorang sedang mengalami kesedihan, kegundahan, merasa hilang arah akan dirinya dan tidak tahu "Aku akan berbagi ini semua dengan siapa?"
Mungkin ada yang menjawab berbagi keluh kesah dengan Tuhan nya masing-masing. Itu tidak salah, bahkan juga malah dianjurkan.
Tapi penyaluran emosi yang baik juga dapat dilakukan dengan menulis. Yaa meskipun belum konsisten, tapi setidaknya kita bisa tahu apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita sedang ga baik-baik aja tanpa merugikan banyak pihak atas emosi yang kita punya.
Komentar
Posting Komentar