Hari
raya Idul Fitri, hari paling ditunggu-tunggu umat Islam, tentunya setelah
berpuasa kurang lebih 30 hari, ada juga yang 29 hari sih hyaa. Tergantung
ngikut mana dah. Budayanya, ketika hari raya gini pasti memaafkan satu sama lain
lah ya. Utamanya orang tua, ya kan? Gua harap pada minta maaf yang bener dah. Gua juga si,
kalau bisa sampai nangis, keren. Tulus ya, moga-moga. Aamin.
Tradisi
di daerah gua yang muda-muda pasti keliling ke orang yang lebih sepuh. Pada saat seperti inilah momen
berkumpul keluarga dimulai. Sejak pandemi covid mulai ada dua tahun terakhir
ini, baru kali ini arus mudik mulai diperbolehkan. Akhirnya kembalilah momen lebaran
yang penuh dengan keluarga-keluarga dalam satu rumah mbah buyut (gitu kan biasanya?) Seneng ketemu keluarga yang lain?
Iya, apalagi mak bapak gue, atau bude-bude gue haha. Momen di mana obrolan
panjang kembali dimulai sampai lupa kapan diakhiri.
Sebagai
anak yang masih muda, belom lulus kuliah, ga punya pacar, introvert pula, momen
beginian adalah momen yang buat ketar-ketir hati. Buat muda mudi usia tanggung
gini, pasti. Pasti momen lebaran gini list pertanyaan dari orang-orang dah
berjejer rapih siap menerkam. Bukannya dapat THR tapi dah ditagihi jawaban dari pertanyaan yang super duper banyak & sulit. Iya ga? Ujian sidang skripsi kalah maybe. Bukan Cuma pertanyaan yang sulit
banget buat dijawab, tapi beberapa cuitan body shaming pasti bakal ada. Kalau
nggak dapet, beruntung banget yes. Inilah mengapa gua kadang overthinking di malam
hari sebelum lebaran. Bukannya takbiran malah overthinking. Istighfar deh.
Dan
terjadilah fenomena tersebut, yang vibes-nya seperti sidang skripsi, tepat di
mana kegiatan maaf-maafan dah selesai. Kenapa sih orang-orang ketika memulai
obrolan harus dimulai dari pertanyaan yang sensitif? Misal nih,
“Ijek
sue kuliahe? Kapan luluse?”
“Wisudane
kapan nduk?”
“Kerjo
ng ngendi nduk?”
“Calon e endi nduk? Ndang dijak rene?
HAHHH.
Dan segelintir pertanyaan pemula yang agak berat
dijawabnya. Mungkin dipikiran orang-orang, obrolan itu akan lebih asik ketika
dimulai dari pertanyaan yang sensitif dan sedikit body shaming aka (Kok
gendutan sekarang?)
To be
honest gua nggak terlalu menjadikan topik ini sebagai masalah yang besar. Tapi HARUSNYA
orang-orang juga bisa memaklumi dan mengerti kalau pertanyaan dan body shaming
begitu lebih baik jangan dilakuin. Kan bisa nih mulai obrolan dengan topik yang
masih disekitaran kita, pertanyaan-pertanyaan yang simple gitu kan bisa. Misal,
“Gimana
puasanya? Aman kan?
“Bangun
jam berapa neng? Jam segini bakwan, mendoan, udah mateng semua.”
Atau pertanyaan-pertanyaan
simple lainnya yang lebih diterima dan enak didengarnya.
TAPI,
BALIK LAGI.
Kita
sebagai manusia HARUSNYA bisa menyaring dan mencoba tidak peduli dengan
omongan-omongan yang mengganggu itu, karena omongan orang emang bukan ranah
kita, yang bisa kita kendaliin sesuai hati dan mau kita, seperti yang pernah
ditulis di buku Filosofi Teras (Baca aja yuk). So, biarkan omongan-omongan yang
agak mengganggu itu seperti angin lalu.
Lebaran
fokus maafan-maafan sama makan makanan yang udah tersaji aja bisa kan ya?
Hahaha.
Benar banget sih, ini alasan nastar dan ketupat jadi dingin dan enek pas dimakan ya waktu lebaran, udah kena bumbu2 yang lain yg agak bikin pikiran gak sreg
BalasHapus