Langsung ke konten utama

Fenomena Lebaran: Mau Maaf-maafan atau Ujian Sidang?

 


https://pin.it/4UUIAza


Hari raya Idul Fitri, hari paling ditunggu-tunggu umat Islam, tentunya setelah berpuasa kurang lebih 30 hari, ada juga yang 29 hari sih hyaa. Tergantung ngikut mana dah. Budayanya, ketika hari raya gini pasti memaafkan satu sama lain lah ya. Utamanya orang tua, ya kan? Gua harap pada minta maaf yang bener dah. Gua juga si, kalau bisa sampai nangis, keren. Tulus ya, moga-moga. Aamin.

Tradisi di daerah gua yang muda-muda pasti keliling ke orang yang lebih sepuh. Pada saat seperti inilah momen berkumpul keluarga dimulai. Sejak pandemi covid mulai ada dua tahun terakhir ini, baru kali ini arus mudik mulai diperbolehkan. Akhirnya kembalilah momen lebaran yang penuh dengan keluarga-keluarga dalam satu rumah mbah buyut (gitu kan biasanya?) Seneng ketemu keluarga yang lain? Iya, apalagi mak bapak gue, atau bude-bude gue haha. Momen di mana obrolan panjang kembali dimulai sampai lupa kapan diakhiri.

Sebagai anak yang masih muda, belom lulus kuliah, ga punya pacar, introvert pula, momen beginian adalah momen yang buat ketar-ketir hati. Buat muda mudi usia tanggung gini, pasti. Pasti momen lebaran gini list pertanyaan dari orang-orang dah berjejer rapih siap menerkam. Bukannya dapat THR tapi dah ditagihi jawaban dari pertanyaan yang super duper banyak & sulit. Iya ga? Ujian sidang skripsi kalah maybe. Bukan Cuma pertanyaan yang sulit banget buat dijawab, tapi beberapa cuitan body shaming pasti bakal ada. Kalau nggak dapet, beruntung banget yes. Inilah mengapa gua kadang overthinking di malam hari sebelum lebaran. Bukannya takbiran malah overthinking. Istighfar deh.

Dan terjadilah fenomena tersebut, yang vibes-nya seperti sidang skripsi, tepat di mana kegiatan maaf-maafan dah selesai. Kenapa sih orang-orang ketika memulai obrolan harus dimulai dari pertanyaan yang sensitif? Misal nih,

“Ijek sue kuliahe? Kapan luluse?”

“Wisudane kapan nduk?”

“Kerjo ng ngendi nduk?”

“Calon e endi nduk? Ndang dijak rene? 

HAHHH.

            Dan segelintir pertanyaan pemula yang agak berat dijawabnya. Mungkin dipikiran orang-orang, obrolan itu akan lebih asik ketika dimulai dari pertanyaan yang sensitif dan sedikit body shaming aka (Kok gendutan sekarang?)

To be honest gua nggak terlalu menjadikan topik ini sebagai masalah yang besar. Tapi HARUSNYA orang-orang juga bisa memaklumi dan mengerti kalau pertanyaan dan body shaming begitu lebih baik jangan dilakuin. Kan bisa nih mulai obrolan dengan topik yang masih disekitaran kita, pertanyaan-pertanyaan yang simple gitu kan bisa. Misal,

“Gimana puasanya? Aman kan?

“Bangun jam berapa neng? Jam segini bakwan, mendoan, udah mateng semua.”

Atau pertanyaan-pertanyaan simple lainnya yang lebih diterima dan enak didengarnya.

TAPI, BALIK LAGI.

Kita sebagai manusia HARUSNYA bisa menyaring dan mencoba tidak peduli dengan omongan-omongan yang mengganggu itu, karena omongan orang emang bukan ranah kita, yang bisa kita kendaliin sesuai hati dan mau kita, seperti yang pernah ditulis di buku Filosofi Teras (Baca aja yuk). So, biarkan omongan-omongan yang agak mengganggu itu seperti angin lalu.

Lebaran fokus maafan-maafan sama makan makanan yang udah tersaji aja bisa kan ya? Hahaha.




Komentar

  1. Benar banget sih, ini alasan nastar dan ketupat jadi dingin dan enek pas dimakan ya waktu lebaran, udah kena bumbu2 yang lain yg agak bikin pikiran gak sreg

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Kalau Kita Hanya Menjadi Sebuah Opsi?

https://pin.it/6C4QQF7J1 Siapa kira bahwa setiap manusia bisa menjadi sebuah opsi di kehidupan manusia lain? Menjadi pilihan dari sejumlah alternatif, atau dalam penggunaan bahasa sedihnya bukan menjadi tujuan utama seseorang. Cukup menyedihkan jika terlalu dalam dipikirkan. Menerima fakta jika kita hanya menjadi opsi saat tujuan utama belum bisa digapai. Menerima fakta jika kita hanya menjadi tempat singgah saat tujuan utama belum bisa menjadi sungguh.  Rasanya menyalahkan orang lain yang tidak mau menjadikan kita tujuan utama juga tidak benar. Mungkin hati kita yang terlalu berharap, supaya kita bisa menjadi tujuan utama dan bahagia bersama selamanya. Tapi ternyata cuma angan semata, ketika kita tahu fakta sebenarnya. Lalu, setelah tertampar fakta yang nyata itu... apa sebaik-baik hal yang harus dilakukan? Jika logika berjalan waras, disuguhi fakta sedemikan rupa dan menyadari bahwa kita hanya menjadi pilihan, akan lebih baik jika kita menyudahi semua. Namun, meninggalkan semuany...

Kenapa Ya, Menulis itu Lebih Lancar Kalau Kita Lagi Ga Baik-Baik Aja?

Ini sebenarnya salah, seharusnya menulis itu bisa dilakukan dalam kondisi apapun. Bukan di saat kita sedang ga baik-baik aja, bukan di saat diri kita ga punya siapa-siapa buat cerita, bukan di saat kita menganggap seluruh orang di dunia ini menyebalkan, bukan di saat kita nangis di pojokkan kamar karena merasa sendiri dan ngga ada siapa-siapa yang mau mengerti kita, bukan di saat kita marah karena terlalu lelah menghadapi kebijakan pemerintah yang makin ngawur setiap harinya. Harusnya menulis bisa dilakukan kapan pun entah apapun kondisinya. Tapi kalau gue berpendapat menulis itu akan lebih lancar ketika kita sedang ga baik-baik aja. Alasannya? Ketika kita sedang ga baik-baik aja dengan kehidupan kita, banyak emosi yang lama sekali kita timbun di dalam hati kecil ini yang kapan saja bisa meledak tanpa kita tahu di waktu kapan ia akan meledak. Lalu kenapa bisa jadi lancar? Karena dengan menulis entah apapun itu jadi satu perantara menyalurkan emosi kita yang sudah lama sekali kita penda...

Fatherless: Ketika Kehadiran Bapak Hanya Sekadar Hadir

                               https://pin.it/6RCwbmz Butuh keyakinan dan kekuatan yang kuat buat nulis ini.  Gua tahu istilah fatherless tuh belum lama, dan ternyata wah yang gua rasain selama ini tuh fatherless deh. Belum lama ini kan ada tuh survei yang mengatakan kalau di Indonesia tingkat fatherless tuh banyak banget. Jadi, ya wow gitu ternyata fenomena fatherless ini banyak dialami oleh kebanyakan anak bahkan sampai anak itu udah ga disebut anak-anak lagi alias udah dewasa. Menurut cnn.indonesia fatherless adalah kondisi di mana seorang anak yang tumbuh bersama ibunya tanpa kehadiran ayah baik secara fisik atau psikologis. Nah keadaan seperti anak yatim itu bisa disebut fatherless . Bukan cuma anak yatim, ternyata jika keadaan seorang anak, orang tuanya masih komplit tapi yang mendominasi kehidupan pertumbuhan mereka itu cuma ibu, juga bisa disebut fatherless . Maksudnya gimana sih...